MOTIVASI DAKWAH

"TAKUTLAH KAMU DENGAN FIRASAT ORANG MUKMIN KERANA SESUNGGUHNYA DIA MELIHAT DENGAN NUR ALLAH"

Allah telah menciptakan manusia dengan disertai syahwat. Adanya syahwat pada diri manusia  bukan sekadar sesuatu yang sia-sia, tetapi terdapat kelebihan dan manfaat yang tersembunyi disebaliknya. Bahkah jika manusia tidak memiliki syahwat (selera) makan, misalnya, kemudian dia tidak makan, sehingga akan menyebabkan dirinya binasa. Demikian juga jika manusia tidak memiliki syahwat terhadap lawan jenis, maka keturunan manusia akan terputus.

Oleh karena itu,keberadaan syahwat pada manusia bukan sesuatu yang tercela. Celaan itu tertuju jika manusia melampai batas dalam memenuhi kehendak syahwat. Hal ini kerana teradapat sebahagian manusia yang tidak memahami hal ini, mengira bahwa syahwat pada manusia merupakan perkara tercela, sehingga mereka berusaha meninggalkan semua yang sebenarnya diinginkan oleh jiwanya. Bahkan di antara mereka ada yang berkata: "Aku memiliki isteri selama sekian tahun, aku menginginkankannya, namun aku tidak pernah menyentuhnya!" Hal seperti ini, sesungguhnya merupakan perbuatan zalim terhadap jiwa dan naluri manusiawi, karena menghilangkan hak yang sepatutya diperolehinya.Sedangkan jiwa memiliki hak yang harus dipenuhi. Nabi S.A.W bersabda kepada sahabat baginda yang bernama 'Osman bin Mazh'un r.a :

فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ فَاتَّقِ اللَّهَ يَا عُثْمَانُ فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَصَلِّ وَنَمْ

"Sesungguhnya aku biasa tidur dan shalat, berpuasa dan berbuka, dan aku menikahi wanita-wanita. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai 'Utsman, karena sesungguhnya keluargamu memiliki hak yang menjadi kewajipanmu, tamumu memiliki hak yang menjadi kewajipanmu, dan jiwamu memiliki hak yang menjadi kewajipanmu. Maka puasalah, berbukalah, solatlah (pada sebagian waktu malam.) dan tidurlah (pada sebagian waktu malam)".



( HR Abu Dawud, no. 1369 dari 'Aisyah x . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.)

Pemikiran yang seperti ini juga merupakan penyimpangan dari keyakinan terhadap sesuatu yang halal dan menyalahi Sunnah Nabi S.A.W. kerana baginda biasa meminum madu dan minuman manis dan itu merupakan kesukaan baginda. Hal ini juga memperlihatkan bahawa kesederhanaan dalam beribadah dan juga mengamalan setiap syariat Islam.

Rentetan senario ini, sebahagian  manusia yang meninggalkan perkara-perkara yang mereka sukai itu dengan beralasan kerana zuhud (meremehkan) terhadap dunia. Tetapi zuhud yang mereka lakukan itu diiringi dengan kebodohan terhadap agama, sehingga zuhud mereka itu tidak bernilai kebaikan. Karena mengharamkan sesuatu yang dihalalkan agama meskipun hanya bagi dirinya sendiri merupakan kezaliman terhadap jiwa, bukan merupakan keadilan. Bukankah mengambil sesuatu yang halal yang disukai jiwa pada sebahagian waktu dan untuk menguatkan jiwa, itu ibarat pengubatan bagi orang yang sakit? hal itu tentu terpuji dan tidak tercela.

MENGENDALIKAN SYAHWAT PERUT

Walaupun memenuhi kebutuhan hidup yang disukai itu diperbolehkan, namun bukan bererti seorang mukmin dibolehkan selalu memperturutkan hawa nafsunya, bahkan dia harus mengendalikannya. Di antaranya mengendalikan syahwat perut. Hal ini kerana syahwat perut ini termasuk salah satu perkara yang dapat membinasakan manusia. Syahwat ini pula yang menjadi penyebab Nabi Adam A.S. dikeluarkan dari syurga yang kekal.Bermula rentetan syahwat perut ini juga, kemudian timbul syahwat kemaluan dan rakus terhadap harta benda,wanita, dan dunia.

Rasulullah S.A.W. telah mengkhabarkan fitnah (kesesatan, ujian) syahwat dan fitnah syubhat terhadap umatnya. Beliau S.A.W. bersabda:

إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَ فُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ

"Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kalian, ialah syahwat mengikuti nafsu pada perut dan pada kemaluan kalian serta fitnah-fitnah yang menyesatkan"

(HR Ahmad dari Abu Barzah al-Aslami. Dishahihkan oleh Syaikh Badrul Badr dalam ta’liq Kasyful- Kurbah, hlm. 21.)

Syahwat mengikuti nafsu perut dan kemaluan merupakan fitnah syahwat, sedangkan fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat.Oleh karena itu seorang mukmin memiliki cara makan yang berbeza dengan orang-orang kafir.

Di dalam hadits yang shahih diriwaytakan:

عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ لَا يَأْكُلُ حَتَّى يُؤْتَى بِمِسْكِينٍ يَأْكُلُ مَعَهُ فَأَدْخَلْتُ رَجُلًا يَأْكُلُ مَعَهُ فَأَكَلَ كَثِيرًا فَقَالَ يَا نَافِعُ لَا تُدْخِلْ هَذَا عَلَيَّ سَمِعْتُ النَّبِيَّ n يَقُولُ الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ

"Dari Nâfi', ia berkata: "Kebiasaan Ibnu 'Umar, tidak makan sehingga didatangkan seorang miskin yang akan makan bersamanya," maka aku memasukkan seorang laki-laki yang akan makan bersamanya. Laki-laki itu makan banyak, maka Ibnu 'Umar berkata: "Wahai Nâfi', janganlah engkau masukkan (lagi) orang ini kepadaku. Aku telah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,'Seorang mukmin makan memenuhi satu usus, sedangkan orang kafir makan memenuhi tujuh usus'." [HR. Bukhari, no. 5391].

Para ulama berzeda pendapat tentang makna sabda Nabi  ini. Sebagian ulama mengatakan, yang dimaksudkan oleh hadis ini ialah bukan zahirnya. Sedangkan sebahagian lain mengatakan, bahwa hadis ini benar sesuai dengan zahirnya. Kemudian para ulama berzeda pendapat tentang maknanya. makna yang tepat, ialah sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, bahwa hadis ini sesuai dengan zahirnya, iaitu menunjukkan kebiasaan/keadaan dominan. Maksud yang dikehendaki dengan bilangan tujuh, iaitu sebagai penekanan untuk menunjukkan banyak. Sehingga makna hadis ini, bahwa keadaan orang mukmin ialah sedikit makan, kerana ia sibuk melakukan ibadah, dan mengetahui tujuan makan menurut syariat ialah untuk menghilangkan lapar, melangsungkan kehidupan, dan menguatkan ibadah. Dan kerana seorang mukmin takut terhadap hisab yang disebabkan melampaui batas dalam hal makanan. Sedangkan orang kafir sebaliknya, karena tidak memahami maksud syari'at, bahkan dia mengikuti hawa nafsunya, tanpa ada rasa takut terhadap akibat-akibat keharamannya. Maka jadilah makannya seorang mukmin sepertujuh, jika dibandingkan dengan makannya orang kafir. Namun hal ini tidak berarti berlaku umum untuk semua orang mukmin ataupun orang kafir.

Kadang kala tedapat sebahagian orang-orang mukmin yang mempunyai makanan yang banyak. Boleh jadi kerana kebiasaannya dia memang makan banyak, ataupun sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti karena penyakit yang tidak nampak, atau lainnya. Begitu pula terkadang di kalangan orang-orang kafir ada yang makannya sedikit. Boleh jadi kerana untuk menjaga kesihatan sebagaimana menurut pendapat para doktor, atau kerana latihan menurut pendapat para pendeta, atau karena faktor kelemahan perut dan seumpama dengannya.

Kesimpulannya, di antara keadaan orang mukmin, ialah semangat dalam berbuat zuhud dan merasa cukup dengan perbekalan. Dan ini berbeza dengan orang kafir. Sehingga, jika seorang mukmin atau seorang kafir tidak didapati berada pada sifat ini, maka bukan berarti membatalkan hadits ini".

(Lihat Fathul-Bari, Penerbit Darus Salâm, Riyadh (9/667-669).)

Terdapat juga golongan yang tidak makan banyak, seprti mana yang disebutkan dalam sabda Nabi S.A.W. :

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

"Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukup bagi anak Adam beberapa suap yang menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak ada pilihan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya"

(HR at-Tirmidzi, no. 2380. Ibnu Majah, no. 3349. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.)



Penjelasan baginda ini ialah puncak kebaikan. Sedangkan keadilan dalam makan, iaitu berhenti makan ketika masih ada keinginan untuk menambah. Ataupun menyedikitkan makan secara terus-menerus, akan dapat menyebabkan lemahnya kekuatan. Banyak orang yang menyedikitkan makan, sehingga mereka juga melalaikan terhadap kewajipan-kewajipan agama kerana faktor kebodohan. Mereka menyangka hal itu merupakan keutamaan. Sedangkan anggapan itu tidak benar. Adapun maksud para ulama yang menjelaskan tentang keutamaan lapar, ialah menunjukkan pada keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Nabi S.A.W. di atas. Dan para ulama, sama sekali tidak membolehkan penyimpangan terhadap syariat. Wallahul-Musta'an.

MENGENDALIKAN SYAHWAT KEMALUAN

Kita perlu sedar akan naluri fitrah manusia yang berkehendakkan pasangan berlainan jantina merupakan sesuatu yang fitrah dan ada hikmah dan kelebihannya. Antara lain, ialah untuk memelihara keberlangsungan hidup manusia di muka bumi sampai waktu yang Allah kehendaki. Demikian juga agar manusia merasakan kenikmatan, yang dengan syahwat itu, ia dapat membandingkan kenikmatan dunia dengan kenikmatan kehidupan di akhirat. Hal ini kerana orang yang belum pernah merasakan suatu jenis kenikmatan, maka ia tidak akan merindukannya. Tetapi, jika syahwat terhadap berlainan jantina ini tidak dikendalikan dengan baik, akan dapat memunculkan banyak keburukan dan musibah. Karena sesungguhnya fitnah (ujian) terbesar bagi laki-laki adalah wanita, sebagaimana sabda Nabi S.A.W :

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

"Tidaklah aku menginggalkan fitnah, setelah aku (wafat), yang lebih berbahaya atas laki-laki daripada wanita".[  HR al-Bukhari no: 5096. Muslim, no: 2740, dan lainnya, dari Usamah bin Zaid.  ]

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah mengulas hadis ini dengan perkataan: “Hadts ini menunjukkan bahwa fitnah yang disebabkan wanita merupakan fitnah terbesar daripada fitnah lainnya. Hal itu dikuatkan firman Allah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita…” (surah Ali-Imran: ayat 14) yang Allah menjadikan wanita termasuk hubbu syahawat (kecintaan perkara-perkara yang diingini), bahkan Dia menyebutkannya pertama sebelum jenis-jenis lainnya, sebagai isyarat bahwa wanita-wanita merupakan hal utama dalam masalah itu”. (Fathul-Bari)

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata: “Kebanyakan yang merusakkan kekuasaan dan negara, ialah karena menaati para wanita”.[ Iqtidha` Shirathil-Mustaqim, hlm. 257.  ]

Sebagian orang soleh berkata: "Seandainya seseorang memberikan amanah kepadaku terhadap baitul mal, aku menduga akan mampu melaksanakan amanah tersebut atasnya. Namun seandainya seseorang memberikan amanah kepadaku atas diri seorang gadis untuk bersendirian satu jam saja, aku tidak merasa aman atas diriku padanya"[ Mukhtashar Minhajul-Qashidin, hlm. 213, Tahqiq: Syaikh Ali al-Halabi. ].

Hal ini kerana fitnah wanita menyebabkan seseorang  terjerumus ke dalam pelbagai kemaksiatan hingga melupakannya terhadap akhirat. Seperti memandang wanita yang bukan mahramnya, menyentuhnya, berpasangan, bahkan sampai berbuat zina.

Sesungguhnya perkara yang mudah untuk menjaga diri daripada fitnah wanita sejak permulaannya  ialah sebagaimana telah diajarkan Allah Ta'ala, yaitu dengan menahan pandangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat". [surah an-Nûr: 30]

Dalam hal ini, Allah Ta'ala juga tidak mencukupkan hanya dengan memerintahkan kepada lelakii yang beriman saja agar menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya, tetapi Allah juga mengiringkan perintah-Nya kepada wanita:

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya".[an- Nûr: 31].

Akan tetapi, ketika seseorang melepaskan kawalan terhadap syahwatnya semenjak awal, maka di akhirnya dia akan sangat kesulitan mengatasinya. Ibarat seekor kuda yang berlari menuju ke suatu pintu yang akan dimasukinya, maka akan sangat mudah mengarahkan kuda itu dengan cara menarik kendalinya dan membelokkannya ke arah lain. Sebaliknya betapa susah, setelah kuda itu memasuki pintu tersebut, kemudian orang berusaha memegangi ekornya dan menariknya ke belakang. Alangkah besar perbedaan dua hal di atas.

Kemudian, kerana beratnya menjaga dan mengendalikan fitnah syahwat ini, maka Nabi S.A.W. memberikan jaminan syurga terhadap orang yang dapat mengendalikannya dengan baik.

Nabi S.A.W.bersabda:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

"Barang siapa menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya".[HR al-Bukhari, no. 6474. At-Tirmidzi, no. 2408;   ]

Al-Hafzh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan: Makna "menjamin (untuk Nabi)", ialah memenuhi janji dengan meninggalkan kemaksiatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dengan menjamin, sedangkan yang beliau maksudkan ialah konsikuennya, yaitu menunaikan kewajipannya. Sehingga maknanya, barang siapa yang menunaikan kewajipan pada lidahnya, iaitu berbicara sesuai dengan kewajipannya, atau diam dari apa yang tidak bermanfaat baginya; dan menunaikan kewajipan pada kemaluannya, yaitu meletakkannya pada yang halal dan menahannya dari yang haram.

Sedangkan yang dimaksud dengan "apa yang ada di antara dua rahangnya", aitu lidah dan apa yang dilakukannya, yaitu perkataan. Sedangkan "apa yang ada di antara dua kakinya" ialah kemaluan.

Ad-Dawudi mengatakan, "apa yang ada di antara dua rahangnya" adalah mulut. Dia mengatakan, sehingga itu meliputi perkataan, makanan, minuman dan semua perbuatan yang dilakukan dengan mulut. Dia juga mengatakan, barangsiapa berusaha menjaganya, maka ia telah aman dari semua keburukan, karena tidak tersisa kecuali pendengaran dan penglihatan". Namun masih tersembunyi baginya, yaitu memukul dengan tangan.

Sesungguhnya pengertian hadits ini berbicara dengan lidah merupakan hal utama dalam meraih semua yang dicari. Jika seseorang tidak berbicara kecuali di dalam hal kebaikan, maka dia selamat. Ibnu Baththal t berkata, hadits ini menunjukkan bahwa bencana terbesar atas seseorang di dunia adalah lidah dan kemaluannya. Sehingga barang siapa menjaga keburukan keduanya, dia telah menjaga dari keburukan yang terbesar.[ Fathul-Bari, syarh hadits no. 6474 secara ringkas. ]

HAFIZI AL-HAFIZ

HAFIZI AL-HAFIZ
Nama beliau Muhammad Hafizi bin Rajiman. Bekas penuntut di SBPI Gombak dan Darul Quran JAKIM. Beliau merupakan aktivis dakwah kerana minatnya yang sangat mendalam dalam dakwah.Beliau mula aktif dalam bidang penulisan sejak pertengahan tahun 2011 dalam blog peribadi beliau, hafizimujahid.blogspot.com

Qalam Qalbi

"Tahap cinta seseorang manusia kepada Allah adalah sejauh mana dia mengenal Allah.''

Popular Posts

Total Pageviews

Followers